"Kemarin dia dan keluarganya datang ke rumah. Orangtuaku bilang iya".
Ada dua hal yang belum berubah sejak awal kami berpacaran. Satu: dia masih suka kopi, dua: aku masih benci kopi.
Dita nama perempuan itu. Seperti kalian, kami juga sering bertengkar. Pertengkaran paling kuingat selain perihal keputusanku kuliah di luar kota, adalah pertengkaran perihal kopi.
Aku ingat sewaktu pertama kali main ke rumahnya, dia membuatkan aku secangkir kopi. Diseduh dengan teknik yang aku tidak bisa mengulang namanya. Warna kopinya hitam pekat. Oh iya, aku belum pernah meminum kopi sebelumnya. Jadi, hari itu selain aku pertama kali main ke rumahnya, aku juga pertama kali minum kopi.
Dita memang lahir dari keluarga kopi. Ayah, kakeknya, dan kakeknya lagi telah turun temurun menjadi pengusaha kopi di kabupaten Tana Toraja, provinsi Sulawesi Selatan.
Aku meraih cangkir kopi yang Dita sajikan. Dita memandangku sambil tersenyum manis sekali. Aku hirup aroma kopinya. Harum. Sementara itu, Dita menunggu reaksi yang akan kuberikan ketika mencicipi kopi racikannya. Harapanku, aku akan menyesap kopinya dengan elegan, lalu sambil tersenyum, aku akan bilang ke Dita, "Makasih, Dit. Ini adalah miniman paling enak yang pernah mampir ke lidah dan tenggorokanku". Lalu Dita akan tersipu-sipu, membalas senyumanku, dan kami akan menghabiskan malam Minggu itu dengan senyum-senyuman.
Seandainya kalian ada di sana, kalian akan melihat wajah Dita yang kesal bukan buatan karena aku hampir memuntahkan kopinya. Kopi adalah minuman paling pahit yang pernah mampir ke lidah dan tenggorokanku.
Rasa kopi buatku tidak lebih dari rasa obat kaplet yang dilarutkan dengan air panas. Sejak hari itu, aku membenci kopi. Sejak hari itu pula, Dita punya cara sendiri mengerjaiku kalau dia marah atau cemburu. Dia akan membuatkan aku secangkir kopi tanpa gula dan memaksa aku untuk menghabiskannya baru aku boleh pulang. Semakin marah dia, semakin pahit kopinya. Kopinya paling pahit adalah malam ketika aku bilang aku lulus di universitas luar kota.
Dita bukan satu-satunya yang gelisah waktu itu. Aku pun sama. Tapi bagiku, keluar dari kota ini dan belajar di kota lain akan memberikan pengalaman yang lebih. Kami sadar hubungan cinta abege kami tidak boleh menghalangi cita-cita. Hubungan kami juga tidak boleh kalah oleh jarak.
"Rindu itu kayak kopi buat aku," Kami kembali ke kafe temaram berwarna oranye tempat kami sedang mengobrol sekarang. Dita memecah hening yang canggung di antara aku dan dia.
"Kalau aku rindu sama kamu, aku akan meracik kopi yang persis aku bikinkan buat kamu pas pertama kali main ke rumah."
"Yang aku hampir muntah itu?"
Dita ketawa. Aku juga. Tapi kami berdua tahu, tawa kami hari itu sudah beda.
"Rindu itu pahit, sama kayak kopi. Satu-satunya cara menghadapi rindu adalah dengan menikmatinya. Aku menikmati kopi supaya aku selalu ingat agar aku selalu menikmati rindu yang selalu buat kamu."
"Kamu selalu lebih dewasa dari aku, Dit." Kataku, Dita senyum. Sejurus kemudian senyumnya pudar.
"Kemarin dia dan keluarganya datang ke rumah. Orangtuaku sudah bilang bilang iya".
Orang yang dia maksud adalah anak lelaki kerabat ayahnya. Anak laki-laki yang sudah bilang ke orangtua Dita bahwa dia mencintai Dita dan telah siap menikahinya.
Aku dan Dita sudah membicarakan ini sebelumnya beberapa kali lewat telepon. Setelah empat semester aku kuliah di kota lain, ada orang lain yang hadir di kehidupan kami. Anak kerabat ayah Dita akan datang melamarnya. Orangtua Dita tahu aku dan Dita masih berpacaran. Tapi bagi mereka, aku belum bisa berjanji. Aku masih mahasiswa semester lima yang belum tahu kapan lulusnya dan belum tahu setelah lulus kuliah mau bikin apa. Kalah telak sama si anak-kerabat-ayah-Dita-pewaris-perusahaan-kopi.
Aku takut berjanji macam-macam ke Dita dan keluarganya.
2 tahun akhirnya aku kembali ke kota ini untuk mengisi liburan semester. Bertemu Dita. Memerdekakan kerinduan yang sudah kami tahan dua tahun lamanya dengan topik Dita yang akan segera menikah dengan orang lain. Pahit memang.
"Lucu ya, Dit?" kataku tersenyum kecut.
"Lucu gimana?" Dita akhirnya memandang mataku.
"Beberapa orang menikah dengan orang yang dicintainya, beberapa lagi menikah dengan orang yang dicintai orangtuanya."
Dita senyum lagi. Dipandanginya mataku dalam-dalam.
"Aku akan belajar mencintainya, kayak kamu juga harus belajar menikmati kopi".
Aku geming. Dita lalu berdiri dari tempat duduknya. Pamit pulang duluan. Ada banyak hal yang harus disiapkan katanya. Aku menjawab dengan anggukan dan senyum kecil. Dita membalas senyumanku seraya beranjak pergi.
Percakapan kami sore itu berlangsung singkat. Kopi hitam di cangkir bening yang baru dipesannya masih mengepul. Belum diaduk. Aku memandangi cangkir yang ditinggal Dita itu sebentar, pelan-pelan meraihnya, mengaduknya, lalu menghirup aromanya.
Harum.
***
Percakapan kami sore itu berlangsung singkat. Kopi hitam di cangkir bening yang baru dipesannya masih mengepul. Belum diaduk. Dibiarkan saja uap panasnya menari di temaram lampu berwarna oranye. Sesekali melayang mendekati mata perempuan itu. Ada sungai yang hendak tumpah di sana.Ada dua hal yang belum berubah sejak awal kami berpacaran. Satu: dia masih suka kopi, dua: aku masih benci kopi.
Dita nama perempuan itu. Seperti kalian, kami juga sering bertengkar. Pertengkaran paling kuingat selain perihal keputusanku kuliah di luar kota, adalah pertengkaran perihal kopi.
Aku ingat sewaktu pertama kali main ke rumahnya, dia membuatkan aku secangkir kopi. Diseduh dengan teknik yang aku tidak bisa mengulang namanya. Warna kopinya hitam pekat. Oh iya, aku belum pernah meminum kopi sebelumnya. Jadi, hari itu selain aku pertama kali main ke rumahnya, aku juga pertama kali minum kopi.
Dita memang lahir dari keluarga kopi. Ayah, kakeknya, dan kakeknya lagi telah turun temurun menjadi pengusaha kopi di kabupaten Tana Toraja, provinsi Sulawesi Selatan.
Aku meraih cangkir kopi yang Dita sajikan. Dita memandangku sambil tersenyum manis sekali. Aku hirup aroma kopinya. Harum. Sementara itu, Dita menunggu reaksi yang akan kuberikan ketika mencicipi kopi racikannya. Harapanku, aku akan menyesap kopinya dengan elegan, lalu sambil tersenyum, aku akan bilang ke Dita, "Makasih, Dit. Ini adalah miniman paling enak yang pernah mampir ke lidah dan tenggorokanku". Lalu Dita akan tersipu-sipu, membalas senyumanku, dan kami akan menghabiskan malam Minggu itu dengan senyum-senyuman.
Seandainya kalian ada di sana, kalian akan melihat wajah Dita yang kesal bukan buatan karena aku hampir memuntahkan kopinya. Kopi adalah minuman paling pahit yang pernah mampir ke lidah dan tenggorokanku.
Rasa kopi buatku tidak lebih dari rasa obat kaplet yang dilarutkan dengan air panas. Sejak hari itu, aku membenci kopi. Sejak hari itu pula, Dita punya cara sendiri mengerjaiku kalau dia marah atau cemburu. Dia akan membuatkan aku secangkir kopi tanpa gula dan memaksa aku untuk menghabiskannya baru aku boleh pulang. Semakin marah dia, semakin pahit kopinya. Kopinya paling pahit adalah malam ketika aku bilang aku lulus di universitas luar kota.
Dita bukan satu-satunya yang gelisah waktu itu. Aku pun sama. Tapi bagiku, keluar dari kota ini dan belajar di kota lain akan memberikan pengalaman yang lebih. Kami sadar hubungan cinta abege kami tidak boleh menghalangi cita-cita. Hubungan kami juga tidak boleh kalah oleh jarak.
"Rindu itu kayak kopi buat aku," Kami kembali ke kafe temaram berwarna oranye tempat kami sedang mengobrol sekarang. Dita memecah hening yang canggung di antara aku dan dia.
"Kalau aku rindu sama kamu, aku akan meracik kopi yang persis aku bikinkan buat kamu pas pertama kali main ke rumah."
"Yang aku hampir muntah itu?"
Dita ketawa. Aku juga. Tapi kami berdua tahu, tawa kami hari itu sudah beda.
"Rindu itu pahit, sama kayak kopi. Satu-satunya cara menghadapi rindu adalah dengan menikmatinya. Aku menikmati kopi supaya aku selalu ingat agar aku selalu menikmati rindu yang selalu buat kamu."
"Kamu selalu lebih dewasa dari aku, Dit." Kataku, Dita senyum. Sejurus kemudian senyumnya pudar.
"Kemarin dia dan keluarganya datang ke rumah. Orangtuaku sudah bilang bilang iya".
Orang yang dia maksud adalah anak lelaki kerabat ayahnya. Anak laki-laki yang sudah bilang ke orangtua Dita bahwa dia mencintai Dita dan telah siap menikahinya.
Aku dan Dita sudah membicarakan ini sebelumnya beberapa kali lewat telepon. Setelah empat semester aku kuliah di kota lain, ada orang lain yang hadir di kehidupan kami. Anak kerabat ayah Dita akan datang melamarnya. Orangtua Dita tahu aku dan Dita masih berpacaran. Tapi bagi mereka, aku belum bisa berjanji. Aku masih mahasiswa semester lima yang belum tahu kapan lulusnya dan belum tahu setelah lulus kuliah mau bikin apa. Kalah telak sama si anak-kerabat-ayah-Dita-pewaris-perusahaan-kopi.
Aku takut berjanji macam-macam ke Dita dan keluarganya.
2 tahun akhirnya aku kembali ke kota ini untuk mengisi liburan semester. Bertemu Dita. Memerdekakan kerinduan yang sudah kami tahan dua tahun lamanya dengan topik Dita yang akan segera menikah dengan orang lain. Pahit memang.
"Lucu ya, Dit?" kataku tersenyum kecut.
"Lucu gimana?" Dita akhirnya memandang mataku.
"Beberapa orang menikah dengan orang yang dicintainya, beberapa lagi menikah dengan orang yang dicintai orangtuanya."
Dita senyum lagi. Dipandanginya mataku dalam-dalam.
"Aku akan belajar mencintainya, kayak kamu juga harus belajar menikmati kopi".
Aku geming. Dita lalu berdiri dari tempat duduknya. Pamit pulang duluan. Ada banyak hal yang harus disiapkan katanya. Aku menjawab dengan anggukan dan senyum kecil. Dita membalas senyumanku seraya beranjak pergi.
Percakapan kami sore itu berlangsung singkat. Kopi hitam di cangkir bening yang baru dipesannya masih mengepul. Belum diaduk. Aku memandangi cangkir yang ditinggal Dita itu sebentar, pelan-pelan meraihnya, mengaduknya, lalu menghirup aromanya.
Harum.